Skip to content

Pemkab Aceh Selatan Akan Garap Sinetron Legenda Tapaktuan

21 June, 2010
tapaktuan

Foto: acehdesain.wordpress.com

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Selatan kemungkinan akan menggarap sinetron legenda Kota Tapaktuan yang direncanakan akan dibintangi artis ibu kota berdarah Aceh Selatan, Tasya Fachny (17). Sinetron legenda kejadian kota Tapaktuan ini akan dikombinasikan dengan epos perjuangan salah seorang pejuang di wilayah Kluet. Rencana pembuatan sinetron ini ikut diprakarsai sebuah organisasi wartawan, yaitu Asosiasi Wartawan Aceh Sejahtera Indonesia (Awasi) Kabupaten Aceh Selatan.

Menurut Ketua Awasi, Kusnaidi Namin kepada Analisa Kamis (17/6), penggabungan kedua sisi cerita, legenda dan realitas perjuangan bertujuan antara lain untuk mempromosikan keberadaan Aceh Selatan yang dipandang memiliki potensi wisata alam dan di sisi lain kaya catatan sejarah. Terkait legenda Tapaktuan, keterlibatan dua tokoh di dalam legenda itu, yaitu Putri Naga dan Tuan Tapa, ternyata dikemudian hari hingga kini diyakini merupakan cikal bakal munculnya nama Kota Tapaktuan yang dikenal dengan Gunung Putri Tidur membujur sejak barat hingga timur kota.

Sementara realita sejarah yang akan dituang di dalam sinetron dimaksud merupakan bagian dari dinamika sejarah perjuangan mengusir penjajah di kurun praperang kemerdekaan Indonesia yang patut diabadikan sebagai contoh dari banyaknya kisah-kisah perjuangan yang termaktub di dalam catatan pejalanan bangsa Indonesia. “Kedua sisi cerita ini terintegrasi menjadi bagian utuh dari sebuah penyajian dalam bentuk sinetron,” kata Kusnaidi.

Putri Naga

Kusnaidi Namin mengakui, tahap awal rencana ini akan segera digarap dengan menjajaki suatu peluang untuk melibatkan para teknisi cinematografy dari Jakarta, termasuk penggarapan skenario serta peralatan pendukung lainnya. Sinetron ini juga direncanakan akan melibatkan artis Jakarta yang berdarah Aceh Selatan, Tasya Fachny, sebagai pemeran Putri Naga.

Menjawab pertanyaan, Kusnaidi mengatakan, Pemkab tampaknya cukup serius untuk rencana ini. Ini setidaknya terungkap setelah dirinya mengadakan pertemuan dengan Sekretaris Bappeda Aceh Selatan, Riswan,SE, Kamis (17), yang menyambut baik gagasan ini serta menjanjikan akan segera mengusul dana untuk mendukung terealisasinya rencana dimaksud.

Dikatakan, pada saat bersamaan, pertemuan sekitar 30 menit dengan Sekretaris Bappeda Riswan,SE itu dirangkaikan pula dengan anjangsana artis Tasya Fachny yang kebetulan sedang berada di Tapaktuan sebagai kota kelahiran orang tuanya, Fachruddin Adami bin Abdullah Ali serta ibu Mardiah asal Sumatra Barat.

Menurut pantauan, kehadiran Tasya Fachny yang telah membintangi 4 sinetron dan 3 film layar lebar kontan tercium sejumlah wartawan di Tapaktuan. Kontan saja artis berkulit putih dan hidung mancung itu dirubungi saat mampir istirahat di sebuah cafe yang di Tapaktuan dikenal dengan sebutan Warpol (Warung Kopi Politik) berlokasi di Jalan Syeikh Abdurrauf.

Dalam wawancara khusus dengan Analisa, Tasya, demikian panggilan akrab sang artis, menjelaskan, dia hadir di Tapaktuan bersama papa dan mama dalam rangka kunjungan keluarga sekalian ziarah ke makam para leluhur. Mengaku baru kali ini menginjakkan kaki di Tapaktuan, dan sangat mengagumi keindahan panorama kota itu. Fachruddin Adami, asli Tapaktuan dan menghabiskan masa pendidikan hingga SMP di kota itu, dengan tempat domisili Jalan Merdeka, untuk kemudian meninggalkan kota itu.

Tasya kelahiran 1993 dan tercatat sebagai siswi di SMK Karya Bangsa Jakarta, dalam perjalanan karirnya di dunia artis hingga kini telah membintangi empat sinetron dan tiga film layar lebar. Sinetron berjudul Bukan Cinta Terakhir, Kepompong, Oma Eles dan Sejuta Cinta Marshanda. Bukan Cinta Terakhir ditayangkan bulan Mei lalu di Trans7 dalam 12 episode, dan Sejuta Cinta Marshanda kini masih ditayangkan RCTI.

Sementara tiga film layar lebar yang dibintangi masing-masing berjudul, Mengaku Roso, Capres, dan Tetesan Darah Perawan. Di dalam “Capres”, Tasya berperan sebagai reporter, dan di film pertama sebagai Cicih (Asisten Dokter). Menjawab pertanyaan Tasya mengaku siap jika memang diajak memperkuat sinetron legenda Tapaktuan. | analisadaily

10 Comments leave one →
  1. Darul Qutni Ch permalink
    21 June, 2010 20:21

    SINOPSIS LEGENDA TAPAKTUAN
    DAN KISAH NAGA MEMELIHARA BAYI RAJA
    (Cerita ini diringkas dari Buku Legenda Tapaktuan yaitu buku pemenang III Tingkat Nasional tahun 1996, yang ditulis Oleh: Darul Qutni Ch dan bukunya sudah beredar di seluruh Indonesia)

    Legenda Tapaktuan merupakan salah satu cerita legenda masyarakat Aceh. Cerita ini mengisahkan asal usul sejumlah nama di kecamatan dalam Kabupaten Aceh Selatan dan asal usul nama Tapaktuan yang dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan yang hingga sekarang masih dapat kita saksikan seperti kuburan Tuan Tapa, batu merah dan batu itam.

    Di dalam cerita itu dikisahkan perjalanan hidup Tuan Tapa, seorang pertapa yang sangat taat kepada Allah. Karena ketaatannya, Tuan Tapa dapat mengetahui hal-hal gaib yang tidak diketahui manusia biasa. Selain itu, ia juga dapat mengetahui mimpi dua ekor naga sehingga kedua naga yang datang dari negeri Cina itu sangat menghormatinya.

    Alkisah, seperti hari-hari sebelumnya, kedua naga itu kembali berenang ke laut mencari makan, sekarang mereka pergi ke barat. Mereka meluncur menyusuri kawasan pinggir pantai menuju ke daerah barat. Mereka membelah ombak lautan yang bergulung-gulung.
    “Hari ini ombak agak besar, suamiku! Seru Naga Betina.
    “Tidak mengapa, istriku. Kita perlu melihat-lihat daerah baru. Mungkin di daerah itu kita akan melihat hal-hal yang aneh seperti yang kita saksikan di daerah timur,” kata Naga Jantan.
    Setelah kedua naga berenang beberapa saat, mereka melihat sekelompok udang besar yang sedang berenang menuju ke muara sungai.
    “Cepat, suamiku! Ayo kita kejar sekelompok udang besar itu!” seru Naga Betina.
    Kedua naga itu berenang semakin cepat. Setelah dekat dengan kelompok udang, dihirupnya air laut kuat-kuat sehingga seluruh udang masuk ke dalam perut mereka.
    Hingga sekarang, tempat itu disebut Desa Air Berudang dan termasuk salah satu desa di Kecamatan tapaktuan.
    Ketika kedua naga itu hendak pulang kembali ke gua, dari tengah lautan, mereka mendengar suara tangis bayi. Suara tangis itu semakin lama semakin keras dan jelas.
    “Oh, suara itu seperti datang dari tengah laut, Suamiku. Ayo, kita berenang ke sana!” seru Naga Betina.
    Begitu sampai di tengah laut, kedua naga itu sangat terkejut. Mereka melihat seorang bayi sedang terapung-apung di dalam sebuah ayunan yang terbuat dari anyaman rotan. Anehnya, ayunan rotan itu tidak kemasukan air.
    “Padahal anyaman ayunan rotan ini jarang-jarang, tapi kok tidak kemasukan air, ya? Kalau begitu, bayi ini pasti bukan bayi sembarangan,” kata Naga Betina.
    Yang mengherankan kedua naga tersebut, begitu mereka tiba di tempat peristirahatannya, ternyata Tuan Tapa sudah berdiri di depan pintu gua.
    “Apakah kalian sudah memeriksa bayi itu baik-baik? Sudahkah kalian periksa apakah bayi itu laki-laki atau perempuan?” tanya Tuan Tapa.
    “Sudah, Tuan. Bayi yang kami temukan seorang bayi perempuan dan di telapak kaki kakan bayi ini terdapat tahi lalat sebesar lingkaran pusatnya,” sahut Naga Betina.
    “Tapi …, kami belum tahu dengan apa memberi makan bayi ini, Tuan,” kata Naga Jantan.
    “Itulah yang akan kusampaikan. Bayi itu bukan keturunan binanatang seperti kalian. Dia adalah anak manusia yang harus dirawat dengan baik,” kata Tuan Tapa.
    “Lalu, bagaimana cara merawatnya, Tuan?” tanya Naga Betina sambil menatap bayi itu penuh kasih sayang.
    “Cara merawatnya sangat mudah. Benda ini harus kalian isapkan kepada bayi itu setiap dia menangis. Benda ini adalah pengganti air susu yang kuambil di atas puncak gunung sana,” ujar Tuan Tapa sambil menunjuk ke utara, tempat gunung yang biru dan menjulang tinggi.
    Kemudian, Tuan Tapa menjelaskan kepada kedua naga bahwa untuk menjaga keselamatan sang bayi dari gangguan binatang liar dan buas, ia memerintahkan seekor harimau untuk menjaganya setiap hari. Harimau itulah yang akan selalu setia mengawasi bayi tersebut hingga dewasa dan menjadi seorang putri.
    Demikianlah, waktu terus berganti. Dari hari ke hari, bayi itu terus tumbuh normal dan sehat sebagaimana bayi manusia lainnya. Setiap hari, kemana saja pergi, harimau yang ditugasi menjaga sang Putri Bungsu itu selalu setia mengawasinya.
    Pada suatu hari, kedua naga itu membawa putri kesayangan mereka pergi berjalan-jalan menikmati pemandangan daerah Teluk yang indah mempesona.
    Sang Putri dinaikkan ke punggung Naga Jantan yang telah siap mengarungi kawasan pantai Teluk. Naga Betina berenang mengiringi dari belakang. Sementara itu, sang Harimau berjalan menyusuri pantai dengan langkah santai. Sesekali harimau melihat sang Putri yang duduk di punggung Naga Jantan. Harimau itu sangat cemas jika putri cantik rupawan itu terjatuh dari punggung naga dan tenggelam.
    “Hati-hati, sang Naga! Jangan berenang terlalu kencang! Nanti sang Putri jatuh dari punggungmu!” seru sang Harimau mengingatkan Naga Jantan.
    Pegang kuat-kuat sirip baga, Putri! Saya sangat mencemaskan sang Putri!” teriak sang Harimau lagi mengingatkan sang Putri.
    Begitulah, kalau kita lihat dari kejauhan sang Putri seperti duduk di atas gerbong kereta api yang melaju membelah laut. Kedua naga membawa sang Putri menyusuri pinggir pantai sambil menikmati pemandangan alam yang indah.
    Diam-diam sang Putri melontarkan rasa kekagumannya. Ia senang melihat keindahan alam pantai Teluk yang masih asri. Demikianlah keadaan sang Putri, ia terhibur selalu dengan sikap kedua naga itu dan penjagaan dari sang Harimau yang setia mengawasinya.

    Setelah bayi itu tumbuh dewasa, kedua orang tua bayi yang menjadi raja dan permaisuri di Kerajaan Asralanoka ingin meminta anaknya, tetapi kedua naga itu menolak. Hal itu menyebabkan terjadinya pertarungan sengit antara kedua naga dengan Tuan Tapa. Mereka bertarung untuk memperebutkan bayi yang kini telah menjadi seorang putri yang cantik yang diberi nama Putri Bungsu.
    Ketika Naga Jantan melancarkan serangan berikutnya, Tuan Tapa menyambut dengan libasan tongkatnya. Tubuh naga pun terpelanting ke udara dan jatuh berkeping-keping di pantai. Darah dari tubuh naga jantan yang sudah hancur itu tumpah kemana-mana dan memerahkan air laut.
    Nah, hingga sekarang bekas tubuh naga yang berupa gumpalan darah dan hati itu masih dapat kita lihat di pantai Desa Batu Itam dan Batu Merah, sekitar tiga kilometer dari kota Tapaktuan. Kini gumpalan darah dan hati tersebut telah mengeras menjadi batu.
    Sekarang Naga Betina pula menyerang Tuan Tapa, tapi serangan itu dapat dipatahkan oleh Tuan Tapa, meskipun tongkat dan topi Tuan Tapa sempat tercampak ke laut, dan hingga sekarang tongkat dan topi itu masih ada dan telah menjadi batu yang terdapat di kawasan pantai Tapaktuan. Sementara Naga Betina yang hendak melarikan Putri Bungsu gagal. Malah hewan itu mengamuk sambil melarikan diri ke negeri Cina. Dalam pelariannya itulah Naga Betina membelah sebuah pulau di kawasan Bakongan hinga menjadi dua bagian, dan hingga sekarang pulau itu bernama Pulau Dua. Bahkan hewan itu mengamuk sambil memporak porandakan sebuah pulau. Pulau itu terpecah-pecah hingga 99 buah. Itulah hingga kini disebut Pulau banyak yang terdapat di Kabupaten Aceh Singkil.
    Akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka. Mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.
    Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia. Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan. Makam Tuan Tapa itu sudah pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Belanda.
    Makam Tuan Tapa yang terdapat di Kelurahan Padang, Tapaktuan ini kerap dikunjungi turis lokal maupun turis mancanegara. Pada tahun 2003 dalam acara silaturrahmi Susilo Bambang Yudhotono (SBY) dengan masyarakat Tapaktuan, SBY yang sekarang Presiden Republik Indonesia itu pernah ziarah ke Makam Tuan Tapa yang waktu itu didampingi Gubernur NAD Ir. H. Abdullah Puteh, Bupati Aceh Selatann Ir.H.T. Machsalmina Ali, MM dan pemuka masyarakat setempat Nasiruddin Gani.

    Demikianlah kisah Cerita Legenda Tapaktuan ini saya sampaikan apa adanya, dan mari kita ingat bahwa segala sesuatu yang sifatnya legenda adalah dongeng belaka tapi bila kita baca semua alur cerita legenda ini dalam Buku Legenda Tapaktuan yang ditulis oleh Darul Qutni Ch ini banyak mengandung pendidikan dan budi pekerti yang tidak menyimpang dari aqidah agama Islam yang mulia dan tercinta itu, serta tidak akan membuat pembaca menjadi syirik dan sesat. (Dikutip dari Buku Legenda Tapaktuan yang ditulis oleh Darul Qutni Ch)

    • 4 July, 2010 00:48

      Terimakasih Pak Darul atas sinopsisnya ini, semoga ada manfaatnya!

  2. Darul Qutni Ch permalink
    19 August, 2010 02:15

    DATA SITUS BERSEJARAH
    DIKABUPATEN ACEH SELATAN

    MERIAM KERAJAAN MEUKEK

    Meriam Peninggalan Sejarah pada masa Kerajaan Meukek yang ditulis oleh Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog menyebutkan, meriam itu dikirim oleh Raja Turki pada tahun 1864 M bersamaan dengan 10 meriam Raja Kerajaan Tapaktuan. Lima meriam untuk Raja Meukek dan 10 meriam untuk Raja Tapaktuan, Sewaktu Perang di Depan Krueng Sirullah pecah antara Belanda dengan rakyat Aceh Selatan, meriam ini sempat dibawa oleh rakyat Meukek dengan perahu layar pembawa kopra menuju pelabuhan Cerocok – Gosong Pakak Tapaktuan pada tahun 1874. Kota Tapaktuan dihujani peluru dari laut. Rakyat Meukek Labuhanhaji dan Tapaktuan memberikan perlawanan dengan meriam buatan Kerajaan Turki. Pertempuran hebat dan sengit itu tepatnya terjadi pada tanggal 5 Mei 1874 ketika bendera Belanda dikibarkan di Tapaktuan. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Buku Sejarah Aceh Selatan)

    RUMAH ADAT KLUET RUNGKO
    (Terdapat di Desa Koto Kluet Tengah)

    Rumah Adat Kluet (Rungko) didirikan pada tanggal 1 Januari 1861 oleh Raja Menggamat Imam Hasbiyallah Muhummad Teuku Nyak Kuto – keturunan pejuang Kluet Tgk Imam Sabil yang pernah berperang melawan Belanda dalam Perang Lawe Melang Menggamat. Rumah Adat Kluet – Rungko ini selain tempat tinggal Raja juga berfungsi sebagai tempat perkara jika terjadi perselisihan dan sengketa dalam kehidupan rakyat Menggamat). (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Sejarah Aceh Selatan)
    Makam Teuku Raja Angkasah
    Desa Bukit Gadeng Kecamatan Bakongan
    Makam Teuku Raja Angkasah terletak di pinggir Sungai Dayah, Desa Buket Gadeng, sekitar 8 km dari Kota Bakongan, Ibu kota Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Pahlawan Aceh Selatan ini gugur di medan perang melawan Belanda pada.
    Gugurnya Teuku Raja Angkasah 5 kilometer dari kawasan hutan Buket Gadeng yang ditembak pasukan Belanda dari empat arah. Ia gugur pada tanggal 18 Desember 1925. Saat itu dua panglima utamanya, Panglima Gadeng dan Panglima Idris yang merupakan panglima yang paling setia gugur tertembak di depan mata Teuku Raja Angkasah. Ia sendiri berada dalam posisi terdesak karena dikepung dari empat sisi dalam keadaan habis peluru. Teuku Raja Angkasah mencabut pedangnya, kemudian melompat dengan pekik Allahu Akbar langsung menyerang sejumlah serdadu Belanda.
    Akhirnya Teuku Raja Angkasah gugur setelah sebutir peluru menembus mulutnya. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Buku Sejarah Aceh Selatan)

    Makam Tengku Peulumat
    Terletak di Desa Betong Peulumat Kecamatan Labuhanhaji Timur.
    Tengku Peulumat nama aslinya Tengku Syekh Abdul Karim, beliau lahir pada tanggal 8 Agustus 1873 di Kota Baru Sungai Tarap Batu Sangkar Minangkabau Sumatera Barat, sejak kecil sampai dewasa Tengku Peulumat berada di kampungnya, setelah dewasa merantau ke Aceh dan menetap di Peulumat, beliau kawin dan berumah tangga di Peulumat. Di Peulumat beliau belajar dan memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Darussalam Labuhanhaji yang kemudian pesantren ini dipimpin oleh keponakan beliau yang bernama Syech Tengku Muda Wali Al Chalidy. Ia belajar syariat, hakikat dan makrifat. Karena Tengku Peulumat sangat menggandrungi ilmu Tasauf, ia hidup dengan ajaran sufi yaitu kaum yang hidup warak dan khana’ah yang tidak cinta dunia. Karena kesucian dan kebeningan jiwa Tgk Peulumat menjadi seorang wali atau Aulia. Banyak hal-hal yang diluar logika terjadi pada diri Tengku Peulumat seperti: Ia bisa menghilang dan berjalan di atas air dan shalat Jumat ke Masjidil Haram dalam waktu singkat dan bisa kembali ke Peulumat. Sebagaimana cerita yang sudah populer di masyarakat Aceh Selatan bahwa pada suatu hari Tengku Peulumat pergi ke pajak ikan membeli ikan. Dalam perjalan pulang tiba-tiba ia ditegur seorang anak yatim, karena mendapat teguran itu, lantas ikan itu diberikannya kepada anak tersebut. Hal itu sempat dilihat oleh isterinya sambil marah kepada Tengku Peulumat. Tapi dengan tenang Tgk Peulumat mengatakan bahwa ganti ikan itu sudah ada tergantung di dekat tungku dapur yaitu seekor ikan laut segar yang masih hidup. Tengku Peulmat meninggal pada tgl 8 Agustus 1943. Saat jenazahnya dimasukkan ke dalam kubur dan ketika ikat kain kapan bagian lehernya dibuka, kerenda Tgk Syech Abdul Karim ternyata kosong – jasad Tengku Peulumat raib. Dikabarkan jenajah orang suci – Aulia Allah yang juga oleh masyarakat dijuluki dengan itu diangkat dan diusung para Malaikat ke alam Malakut. Wallahu Bissawab. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Sejarah Aceh Selatan)

    Al QUR’AN GADANG
    Terdapat di Desa Kampung Dalam Kec Labuhanhaji, Aceh Selatan

    ditulis oleh seorang yang berasal dari Pariaman Minangkabau yang bernama Datuk Sultan Palaci. Quran itu ditulis sepulang dari Mekah selama 2 tahun 2 bulan dan 2 hari dengan tangannya sendiri. Setiap Al Quran itu ditulis ia selalu dalam keadaan berwuduk. Ia menulis setiap selesai shalat tahajjud hingga fajar. Ia mulai menulis musaf Al Qur’an itu pada subuh Jumat pada tgl 8 Agustus 1937 dan selesai ditulis pada tgl 8 Agustus 1939 juga di Subuh Jumat.
    Dahulu dan hingga kini Al Qur’an ini sering dijadikan tempat bersumpah saat orang berperkara (bersengketa). Biasanya terbukti jika orang yang bersengketa itu berbohong. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Sejarah Aceh Selatan)

    Makam Tgk Syech Muda Wali
    Terdapat di Desa Blang Dalam Kecamatan Labuhanhaji Barat. Sheikh Muda Waly Aal Khalidy An Naqsyabandy Al Asyiy.
    Syeikh Muda Waly Al khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tgl 8 Agustus 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Sheikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji..
    Tgk Syech Mudawali Al Chalidy lahir tahun 1917 wafat tahun 1961. Ia seorang Ulama Besar yang memimpin Pesantren Darussalam di Blang Poroh Kec Labuhanhaji Barat. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Sejarah Aceh Selatan)

    BENTENG TRUMON
    Terdapat di Desa Keude Trumon Kecamatan Trumon

    Benteng tersebut dibangun pada tahun tgl 11 Agustus 1770 sampai dengan tgl 8 Agustus 1802 pada masa pemerintahan Teuku Raja Jakfar dan diteruskan oleh anaknya Teuku Raja Bujang pada masa itu di dalam benteng itu ada tempat percetakan uang kerajaan Trumon sendiri. Pertama uang dicetak di Protugal, Lisabon, kemudian ditiru dicetak di Trumon menjadi uang Trumon atas seizin Kerajaan Portugal dan uang tersebut menjadi uang Trumon. Asal usul Kota Trumon berasal dari Trung Binah Mon. Selanjutnya benteng tersebut dijaga oleh saudara Teuku Raja Ubit sampai turun temurun. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Sejarah Aceh Selatan)

    BUPALEH
    Terdapat di Desa Kuala Ba’u
    Bupaleh berasal dari bahasa Arab Bupalatul, tempat berhujah ulama dalam mencari suatu kebenaran berdasarkan Al Quran dan Hadist Nabi. Kegiatan itu dilaksanakan mulai tahun 1940. Sebelumnya pada tahun 1888 di kawasan itu juga digunakan sebagai tempat bermusyawarah para ulama keturunan Said yang mengembangkan Agama Islam di Aceh – salah seorang keturunan Said yang berjasa mengembangkan agama Islam di Aceh Selatan ialah Alm Drs H Sayed Mudhahar Ahmad Msi mantan Bupati Aceh Selatan. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Sejarah Aceh Selatan)

    MESJID TUO PULO KAMBING
    Terdapat di Desa Pulo Kambing Kec Kluet Utara.
    Mesjid Tuo Pulo Kambing umurnya sekarang berkisar sekitar 9 abad lebih (tepatnya mesjid ini dibangun pada tgl 8 Agustus 1351 Masehi oleh seorang Ulama yang bernama Syech Muhammad Husin AlFanjari Bin Muhammad Alfajri Kautsar – murid dari seorang ulama Sufi yang datang dari Farsia). Mesjid ini mempunyai tiang-tiang yang berukir kalighrafi arab dan tulisan tersebut menceritakan riwayat berdirinya kerajaan-kerajan Islam dahulu di Aceh. Uniknya mesjid ini mempunyai kemiripan dengan mesjid yang pertama dibangun oleh Wali Songo di Jawa. Tiang pertama mesjid ini kayunya diangkut sendirian dari hutan Ruak oleh salah seorang murid Syech Muhammad Husin AlFanjari yang bernama Syech Mutawali Alfanshuri dengan tangan kosong pada tanggal 5 gustus 1351 Masehi. Setelah tiang pertama dipancangkan selesai shalat subuh, 8 Agustus 1351 baru bersama masyarakat secara bergotong royong mesjid itu dibangun dibawah komando Syech Muhammad Husin l-Fanjari dengan menyembelih satu ekor kerbau, satu ekor kambing dan satu ekor ayam janta putih. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Sejarah Aceh Selatan)

    MAKAM RAJA LELO
    Terdapat di Desa Sapik Kec Kluet Timur.
    Raja Lelo nama aslinya Banta Saidi lahir 1 Agustus 1780 di Kluet Timur adalah pengikut atau pasukan berani mati Teuku Cut Ali. Ia dikejar marsose Belanda dibawah pimpinan Kapten J Paris. Di kawasan Kampung Sapik Kecamatan Kluet Timur inilah terjadi pertempuran sengit. Dalam peperangan ini, 19 orang pasukan Panglima Raja Lelo gugur. Serangan ini juga melukai 12 orang tentara marsose dan berhasil menawan Belanda. Pertempuran seru terjadi ketika Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo berhadapan dengan Kapten J Paris dengan pertarungan tangan kosong. Keduanya sama-sama memiliki ilmu kekebalan. Saat itu puluhan butir peluru yang menerjang tubuh Raja Lelo tidak mampu melukai tubuhnya. Demikian juga sebaliknya. Puluhan kali Banta Saidi menebaskan pedangnya ke tubuh Kapten Paris, namun tidak mampu melukai tubuh Kapten Paris karena orang Belanda ini juga memiliki ilmu kebatinan. Panglima Rajo Lelo dan Kapten Paris beradu gulat. Pertarungan sangat sengit dan seru, dan saling banting, saling pukul dan saling terjang. Karena tingkat kesaktian Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo lebih tinggi daripada apten J Paris, akhirnya Raja Lelo berhasil menemukan kelemahan kesaktian Kapten Paris. Panglima Raja Lelo segera memagut tubuh Kapten Paris, sambil memegang dan memutar alat vital Kapten Paris. Saat itu juga kapten yang kebal dan sakti ini tewas.
    Gambaran kejadian yang menciutkan nyali pasukan marsose dalam perang Kelulum itu dapat diungkapkan dalam bait syair Aceh sebagai berikut:

    Prang Bakongan seuhu hana kri
    Kaphe neu tadi keunong bak jungka
    Matee Angkasah tinggay Cut Ali
    Prang teu-jali leubeh nubura

    Peudeung neu-gunci su meudeungong
    Han jitem tamong meuhana bila
    Kapten Paris putoo taloy nyawong
    Sakti Limong Raja Lela.

    Lima bulan kemudian setelah terbunuhnya Kapten J Paris, Panglima Raja Lelo jatuh sakit, ia dilarikan ke Suaq Bakong untuk dirawat, karena kondisi Suaq Bakung masih dijaga ketat pasukan Belanda, malam itu Banta Saidi kembali dibawa ke Kampung Sapik. Malam Jumat tanggal 8 Agustus 1926 Banta Saidi atau Panglima Raja Lelo menghembuskan nafasnya yang terakhir. Jenazahnya dikebumikan di samping kuburan para pasukannya yang gugur terdahulu yaitu di lokasi terjadinya Perang Kelulum Desa Sapik – Kluet Timur, Aceh Selatan. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis buku Sejarah Aceh Selatan)

    MAKAM TEUKU CUT ALI
    Terdapat di Desa Suaq Bakung, Kluet Selatan
    Setelah Teuku Raja Angkasah gugur perlawanan diteruskan oleh Teuku Cut Ali. Teuku Cut Ali lahir pada tanggal 1 Agustus 1867 di Trumon. Ia berjuang menentang Belanda secara gerilya atau berpindah tempat dengan membawa para pengikutnya. Pada tanggal 1 Agustus 1927 terjadilah perang Teuku Cut Ali melawan pasukan Belanda. Menurut penuturan Panglima Untung (Panglima Uleebalang Keujrun Kluet) saksi hidup kepada penulis (Darul Qutni Ch) 8 Januari 1995 di Lawe Sawah, Kluet Timur, Teuku Cut Ali gugur di Alue Bebrang Lawe saah Kecamatan Kluet Timur, Aceh Selatan. Pasukan Belanda waktu itu dipimpin oleh Kapten G.F.V. Gosenson Perang sengit terjadi di bawah lereng jurang di Alue Beebrang Lawe sawah. Dalam adu tembak itu, isteri Teuku Cut Ali yang bernama Fatimah yang sedang hamil itu tertembak peluru Belanda. Melihat kejadian itu, Teuku Cut Ali Marah dan langsung maju menghadang melawan pasukan Belanda, dalam saling adu tembak Teuku Cut Ali Akhirnya tewas bersama pengikutnya: Fatimah tewas dalam keadan hamil tua, Nyak Meutia
    Binti Teuku Nago, Imam Sabil alias Ben Kechik, Nyak Jawa alias Abdullah bin Man Peh, Teuku Nago dan Nyak Asan. Setelah memotong Kepala Teuku Cut Ali, Belanda membawa potongan kepala itu ke Suaq Bakung untuk di arak dan dipertontonkan kepada warga Suaq Bakung, sorenya (1 Agustus 1927) potongan kepala itu dikebumikan di pinggir sungai Kandang Suaq Bakung. Sedangkan badannya dikebumikan bersamaan dengan jasad Imam Sabil dalam satu liang. Jenazah Teuku Cut Ali dimandikan oleh Tambi (ayahanda H Abdul Salam BA – mantan Ketua DPRK Aceh Selatan). Tambi juga memandikan 5 jenazah lainnya. (Sumber: Darul Qutni Ch – Penulis Sejarah Aceh Selatan)

    MESJID TUO KAMPUNG PADANG
    Terdapat di Gampong Padang Tapaktuan, Aceh Selatan.
    Mesjid Tuo Kampung Padang ini dibangun pada tgl 10 Agustus 1108 Masehi oleh Syech Al-Jazirazi Farsyiah Bin Ibnu Mansyur dalam bentuk pondok kecil berlantai papan. Kemudian pada tahun 1115 mesjid ini direhabilitasi oleh muridnya Tengku Muhammad Chalidy bin Fasaman. Kemudian pada tahun 1351 Masehi kembali direhabilitasi oleh seorang ulama yang bernama Tengku H. Abdul Manan bin Muhammad Sutan Pariaman. Dari dulu sebelum masuknya penjajahan Belanda, mesjid ini tempat belajar membaca Al Qur’an dan tempat menyelenggarakan shalat Jumat dan memperingati Hari-hari Besar Islam seperti Israk Mikraj, 1 Muharram dan Maulid Nabi Muhammad SAW. Keanehan dan kelebihan Mesjid Tuo ini, di depannya terdapat Makam Tuan Tapa – Orang Keramat yang membunuh Naga. Setiap memperingati Maulid Nabi – dari permukaan makam Tuan Tapa ini keluar dengan sendirinya talam, piring, mangkok, gelas dan sendok serta perkakas dapur lainnya secara gaib. Kemudian semua benda itu ditaruh kembali setelah digunakan, dan pada tengah malam menurut saksi mata semua benda itu masuk dan hilang kembali ke dalam Makam TuanTapa. Menurut penuturan sejarah pada tahun 1938 sampai 1943 Masehi sangat sering Tengku Peulumat datang shalat Duhur dan Ahsar ke mesjid ini bahkan dikatakan juga Tengku Peulumat yang keramat ini sering tidur siang di mesjid menunggu waktu shalat Ashar. Pada suatu saat Tengku Peulumat sedang tidur, beberapa murid yang sedang belajar mengaji bertanya kepada Tengku Peulumat: “Kenapa Anduang tidur bergelung dan menerkukkan lutut seperti orang kedinginan?” Lantas orang suci dan keramat ini menjawab: “Jika kedua kaki ini aku ulurkan kena tepi langit.”

    Kemudian pada hari yang lain, saat shalat ashar tiba-tiba Tengku Peulumat – Paman dari Tgk Syech Muda Wali Al Chalidy ini tiba di depan pekarangan Mesjid Tuo dalam keadaan basah kehujanan. Salah seorang jamaah bertanya kepadanya: “Bagaimana Tuangku shalat basah seperti itu?” Lantas Aulia Allah ini membuka bajunya lalu dikibaskannya beberapa kali sehingga semua pakaian yang lagi basah ditubuhnya itu kering seperti baru dibangkit dari jemuran. Wallahu Bissawab. (Sumber: Darul Qutni Ch, – Penulis Sejarah Aceh Selatan)

    MAKAM TUAN TAPA

    Makam Tuan Tapa Terdapat di Gampong Padang Kecamatan Tapaktuan – di depan Mesjid Tuo. Dalam pertarungan antara Tuan Tapa dengan Dua ekor Naga karena memperebutkan Ptroe Bungsu, Akhirnya Tuan Tapa berhasil mengalahkan kedua naga tersebut. Sang Putri pun dapat kembali bersama orang tuanya, tetapi keluarga itu tidak kembali ke Kerajaan Asralanoka. Mereka memilih menetap di Aceh. Keberadaan mereka di Tanah Aceh diyakini sebagai cikal bakal masyarakat Tapaktuan.

    Setelah kejadian itu, Tuan Tapa sakit. Seminggu kemudian Tuan Tapa meninggal dunia pada Bulan Ramadhan Tahun 4 Hijriyah . Jasadnya dikuburkan di dekat Gunung Lampu, tepatnya di depan Mesjid Tuo Kelurahan Padang, Kecamatan Tapaktuan, dan hingga sekarang makam manusia keramat itu masih bisa kita saksikan. Makam Tuan Tapa itu sudah pernah mengalami beberapa kali pemugaran semasa Pemerintahan Belanda.

    Makam Tuan Tapa yang terdapat di Kelurahan Padang, Tapaktuan ini kerap dikunjungi turis lokal maupun turis mancanegara. Pada tahun 2003 dalam acara silaturrahmi Susilo Bambang Yudhotono (SBY) dengan masyarakat Tapaktuan, SBY yang sekarang Presiden Republik Indonesia itu pernah ziarah ke Makam Tuan Tapa yang waktu itu didampingi Gubernur NAD Ir. H. Abdullah Puteh, Bupati Aceh Selatann Ir.H.T. Machsalmina Ali, MM, Darul Qutni Ch Kepala Biro Surat Kabar Ekspos (Penulis asional) dan pemuka masyarakat setempat Nasiruddin Gani.

    Demikianlah kisah Cerita Legenda Tapaktuan ini ditulis apa adanya, dan mari kita ingat bahwa segala sesuatu yang sifatnya legenda adalah dongeng belaka tapi bila kita baca semua alur cerita legenda ini dalam Buku Legenda Tapaktuan yang ditulis oleh Darul Qutni Ch ini banyak mengandung pendidikan dan budi pekerti yang tidak menyimpang dari aqidah agama Islam yang mulia dan tercinta itu, serta tidak akan membuat pembaca menjadi syirik dan sesat. (Dikutip dari Buku Legenda Tapaktuan yang ditulis oleh Darul Qutni Ch)

    Tapaktuan, 25 Juni 2010.

    Penulis:

    Darul Qutni Ch, S.Pd

  3. 30 November, 2010 15:31

    salam kenal…
    kunjungi repository unand
    terima kasih ^^

  4. 1 October, 2011 09:42

    semoga semua cerita tentang ulama aceh selatan dapat mejadi pelajaran bagi yg membaca nya

  5. Mukhrijal permalink
    28 February, 2012 13:13

    semoga betul2 terealisasikan.
    Mgkin dengan seperti ini Aceh selatan bakalan dikenal baik nasioanal maupun internasional nanti. Semoga aceh selatan berjaya.

    • 29 February, 2012 00:30

      kita harapkan tidak sebatas wacana, namun sampai hari ini belum melihat wujud realisasi juga sih 🙂

  6. Tary Iqlima permalink
    10 April, 2012 10:47

    Pengenlah ke Aceh Selatan,
    Moga suatu hari bisa ke sana………………….

  7. 3 September, 2012 19:56

    hmmm krn bgt mudah mudahan suatu hari nanti gw bisa ke pelabuhan tapaktuan, tapi pinginnya sekarang 😦

  8. ihsan permalink
    11 May, 2015 18:02

    Hai alah 2015 lah. Balun juo apo2 lai…. ma nantilah kami….

Leave a reply to Mukhrijal Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.